“Ceng Beng”, Sembahyang Kubur Leluhur Tionghoa

Beberapa hari lagi, tepatnya hari sabtu nanti tanggal 4 – 5 april etnis tionghua mengunjungi perkuburan sanak dan keluarganya yang sudah menjadi tradisi dan budaya etnis Cina. selengkapnya akan di bahas lebih lanjut di bawah ini.

Banyak warga etnis Tionghoa melakukan Ceng Beng dengan mengunjungi pekuburan warga dan sanak familinya di kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Minggu (29/3) hari ini. Bukan saja datang dari kota Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya bahkan mereka dari Negara jiran seperti Singapura dan Malaysia.

Perkuburan Tionghoa di kota ikan Bagansiapiapi ada di dua tempat, di jalan Pusara Hilir yang berdekatan dengan pekuburan umat Kristen dan satunya di jalan Pelabuhan Baru.

“Mana kuburnya Engkong gua,” ujar seorang warga bermata sipit, Lemmi (47) ketika turun dari becak yang menghantarnya dengan menenteng beberapa tas plastik warna hitam ditangannya.

“Sini Nya, di sini tempatnya,” jawab seorang lelaki berusia sudah setengah abad, yang diajak ngobrol oleh bermata sipit itu. Kemudian lelaki itu menuntun seorang yang dipanggilnya Nyonya. Dirinya berjalan ke area pemakaman di perkuburan Tionghoa jalan Pusara Hilir Bagansiapiapi dengan diikuti oleh Nyonya Lemmi. Lelaki yang diajak berbicara tersebut adalah Suyanto (54) yang lebih dikenal dengan panggilan Anto Cino, warga jalan Pusara Hilir yang tidak jauh dari tempat perkuburan Tionghoa itu.

Anto menunjukkan tempat perkuburan keluarga Lemmi, karena Lemmi sudah lupa dimana letak kubur Engkongnya. ”Kami lupa tempatnya karena datang kemari setahun sekali,” ujar Lemmi kepada pewarta HOKI.

Kemudian Anto menjelaskannya bahwa Nyonya Lemmi tersebut dahulunya tinggal di Bagansiapiapi namun karena mengembangkan usaha bisnisnya di Jakarta, maka sekarang mereka sudah tinggal di Ibukota Negara Indonesia. Dia juga mengatakan bahwa banyak warga tionghoa yang kenal dengan dirinya karena setiap pelaksanaan sembahyang kubur leluhur ia selalu berada di pekuburan etnis Tionghoa tersebut untuk mengais rezeki. “Makanya warga Tionghoa banyak kenal saya karena saya selalu ikut membantu membersihkan pekuburan sanak familinya dan menjaganya jangan sampai dirusak oleh tangan jahil,” kata Anto.

Kemudian Anto menjelaskan arti bahasa Ceng Beng tersebut. ”Sembahyang kubur dalam bahasa mandarinnya Qing Ming sedangkan bahasa Hokkiannya Ceng Beng. Ceng berarti bersih dan Beng berarti terang,” ujarnya menjelaskan.

Dalam prosesi sembahyang kubur tersebut ada beberapa orang melayu yang sibuk bekerja untuk membersihkan pekuburan warga Tionghoa tersebut. Mereka membawa pelbagai peralatan seperti, sapu lidi, parang, sabit, brus, kuas dan cat dinding. Mereka membersihkan pekuburan tersebut dengan air dan sabun kemudian disikat agar tampak bersih bahkan mereka mengecat dinding pemakaman itu dengan berwarna-warni.

Sementara itu, Nyonya Lemmi setelah mengetahui letak pemakaman sanak familinya, tampak sedang menyiapkan peralatan sembahyang kuburnya. Dia mengeluarkan peralatan tersebut dari tas plastik hitam, berupa kertas sembahyang berwarna perak, kertas berwarna putih, kertas berwarna kuning, hio sembahyang, kue jajanan, ayam rebus utuh satu ekor, apel, jeruk, cangkir teh yang kemudian diisi teh, dan lilin merah. Semua perlengkapan sembahyang itu diletakkan di altar pemakaman. Selanjutnya dibakar beberapa hio yang diapit dengan kedua belah tangannya dan disembahnya. Setelah itu ditancapkan hio yang telah dibakar tersebut di altar.

“Acara meletakkan kertas perak disebut Gin Chua sedangkan upacara peletakkan kertas berwarna putih dan kuning ke Bongpai atau batu nisan disebut upacara Tek Chua,”tuturnya Anto ketika Pewarta HOKI memperhatikan prosesi sembahyang kubur yang dilakukan Nyonya Lemmi. “Tradisi Ceng Beng ini setiap tahun digelar, tradisi ini bisa dimulai sepuluh hari sebelum dan sesudah hari pelaksanaannya,” kata Anto.
“Puncak sembahyang Ceng Beng dilaksanakan pada tanggal 9 bulan ke-3 Imlek tahun cina, diperkirakan tanggal 4 dan 5 April mendatang. Sekarang sembahyang untuk membersihkan pekuburan bahkan dicat agar tampak bagus,” ujar Anto yang oleh Panitia pelaksana Ceng Beng ditugaskan untuk menjaga keamanan prosesi sembahyang kubur ini.

“Pada acara puncaknya nanti akan ramai warga Tionghoa yang datang untuk sembahyang, beberapa suku warga Tionghoa juga menggelar pemilihan panitia Ceng Beng untuk tahun depan,” katanya.

Masih menurut Anto bahwa sembahyang Ceng Beng ini sama halnya bagi warga muslim bila memasuki bulan puasa Ramadhan. ”Mereka membersihkan area pemakaman sanak familinya yang sudah lama tidak dijenguk,” tutur Anto.

Ditambahkan bahwa pelaksanaan sembahyang kubur tersebut ada sejarahnya sejak tempo dahulu. ”Kenapa membersihkan kuburan ada cerita sejarahnya sehingga sampai sekarang dilaksanakan,” kata Anto.

Anto mengatakan bahwa dia bersama rekannya sekitar 12 orang ditugaskan oleh Panitia Ceng Beng untuk menjaga keamanan dan prosesi sembahyang kubur di pekuburan jalan Pusara Hilir ini. “Kami digaji 50 ribu rupiah sehari,” tandasnya kemudian. (*)

Cheng Beng,Hari Penghormatan Leluhur
________________________________________
Setiap tanggal 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Cheng Beng (Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan dengan berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin:Yinzhi=kertas perak).

Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan berdasarkan posisi bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL (bukan akhir!) Cheng beng jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila kita artikan kata Cheng beng, maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka Chengbeng berarti terang dan cerah. Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena cuaca yang bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat pemukiman.

Bahkan bila ada orang yang tinggal jauh dari kampung halamannya,mereka akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya,khusus untuk melakukan upacara penghormatan para leluhur.

Sejarah Cheng Beng

Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya. Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca) dan dimulainya hawa panas.

Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana cheng beng itu yaitu:
“Sehari sebelum cheng beng tidak ada api” atau yang sering disebut Hanshijie (han: dingin, shi:makanan, jie: perayaan/festival).Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di gunung Mianshan. Jin Wengong (raja muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga disebut perayaan makanan dingin.

Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi. Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei. Sejak jaman dahulu hari cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur.

Pada dinasti Tang, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, dengan mengimplementasikannya berupa membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain.

Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.Yang hilang adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.

Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming.

Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya.

Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan?

Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga.Dikarenakan saat itu cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya.

Dhamma, antara tradisi dan ajaran Sejak lahirnya apa yang disebut ‘agama Buddha’ dari ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, sudah berkembang dan bercampur dengan tradisi setempat,sehingga sulit dikatakan mana yang ‘benar-benar’ ajaran Sang Buddha dan mana yang bukan.

Banyak orang Tionghoa masih melakukan tradisi secara turun menurun seperti Cheng Beng. Dengan menyadari hal ini, kita dituntut kebijaksanaan kita agar dapat membedakan mana yang sebenarnya tradisi dan mana yang Ajaran Buddha. Tetapi juga tidak salah kita tetap menjalankan tradisi, yang penting kita harus tahu dan memilah-milah antara tradisi dan agama Buddha. Sang Buddha sendiri tidak menolak bila kita mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak turun menurun, yang penting kita jalankan adalah untuk kebaikan satu dan banyak orang.

Di dalam Sigalovada Sutta juga, Buddha sudah menjelaskan tentang kewajiban orang tua. Namun disamping itu,dijelaskan pula tentang kewajiban dari anak.Salah satu cara menghormati leluhur adalah dengan cara menjaga nama baik keluarga bahkan kalau bisa semakin mengharumkan nama keluarga dan juga mengatur pelimpahan jasa kepada sanak keluarga yang telah meninggal.

Nah, itu semua kembali tergantung kepada diri kita sendiri bagaimana kita menjalankannya.
__________________
“Sampah menjadi Emas, Emas menjadi Cinta Kasih”

“Orang yang mempunyai kedua tangan tetapi malas, mabuk-mabukan, merugikan orang lain tidak lebih baik dari orang yang tidak mempunyai tangan”

“Untuk menghapus malapetaka di dunia, harus dimulai dari memperbaiki kondisi hati manusia.”

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar