Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dalam hasil survei terakhir harian Kompas elektabilitasnya mencapai lebih dari 60 persen, tampaknya bukan jaminan ia akan terpilih kembali menjadi Presiden RI periode 2009-2014.
Pecah kongsinya pasangan SBY-JK telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi SBY untuk mampu meraih suara signifikan pada Pilpres 2009. Pasangan ini sulit untuk disatukan kembali karena ini terkait soal martabat Jusuf Kalla (JK) dan kepercayaan publik. Artinya, JK sulit ‘menjilat ludah’ atau lebih sopannya menarik kata-kata yang sudah dilontarkannya berkali-kali bahwa ia siap maju menantang SBY sebagai capres Partai Golkar, karena ini menyangkut martabat dirinya.
Dari sisi kepercayaan publik, penyatuan kembali pasangan yang sudah pecah ini juga sulit. Politik adalah suatu yang serius, bukan hal yang main-main, kalau sudah bilang pecah dan ternyata bersatu kembali, publik atau pemilih tentunya sulit percaya pada kedua tokoh ini.
Sementara itu, Partai Demokrat sendiri mulai ragu apa bisa meraih 15 persen suara pada Pemilu legislatif 9 April 2009 ini. Sebaliknya, Partai Golkar justru semakin percaya diri mematok target 30 persen, sesuatu yang juga sulit terjadi. Satu hal yang menarik, ada juga tokoh Partai Golkar seperti Akbar Tandjung dan Fadel Muhammad, yang mengesankan bersedia menjadi Cawapres mendampingi SBY. Namun, seperti biasanya, Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menampik mengomentarinya dan tetap berpatok pada kesepakatan di Partai Demokrat bahwa pasangan capres dan cawapres akan diumumkan setelah hasil pemilu legislatif.
Penjajakan politik dan ‘politik dagang sapi’ (istilah aslinya ‘Horse Trading Politics’), semakin marak dilakukan para tokoh partai-partai politik. JK sendiri sudah mulai giat melakukan pertemuan dengan berbagai tokoh partai seperti bersilaturahim dengan tokoh-tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam kaitannya dengan yang terakhir itu, PKS masih menyimpan misteri politik apakah sungguh-sungguh akan berkoalisi dengan Partai Golkar. Ini tampak dari ‘seolah-olah’ ada pertarungan di PKS antara Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Sekjen PKS Anis Matta soal dukungan pada JK.
Ketika Tifatul berbalas pantun dengan JK, Anis justru seakan masih kurang percaya JK serius mau maju jadi capres. Padahal ditengarai justru Anis yang sering melakukan kontak dengan JK karena kebetulan ia menjadi caleg nomor 1 di Sulawesi Selatan. PKS bukan mustahil juga masih terus melakukan penjajakan dengan PDIP dan Demokrat soal pencalonan salah seorang kadernya, Hidayat Nurwahid atau Tifatul Sembiring, menjadi cawapres mendampingi Megawati atau SBY.
Agak sulit bagi SBY jika mengambil tokoh non-partai atau berasal dari partai yang tidak dicalonkan atau didukung oleh partainya. Pilpres 2009 tentunya berbeda dengan 2004 yang capresnya tangguh dan memiliki strategi politik yang masih menjadi misteri. Contohnya, jika Partai Demokrat yang sebulan lalu terlalu pede ternyata nantinya hanya meraih suara di bawah 15%, ini bisa menjadi prahara politik bagi pencalonan SBY. Bukan mustahil Golkar bersama partai-partai menengah dan kecil lainnya melakukan ‘Politik Pembendungan SBY’ dengan cara menawarkan posisi-posisi strategis di kabinet mendatang kepada mitra koalisinya.
Jika dilihat dari gaya berpolitik SBY dan JK, bukan mustahil JK adalah sosok yang lebih menarik ketimbang SBY. JK lebih egaliter, tidak basa-basi, satu kata dan perbuatan, memberikan arahan kepada para anggota kabinet lebih sederhana dan singkat, cepat dan tegas dalam mengambil keputusan, berani mengambil risiko jika keputusan yang diambilnya salah dan benar-benar pribadi yang hangat.
Namun ada satu kelemahan JK, yaitu terlalu dekatnya ia dengan Aburizal Bakrie. Sebagai Wakil Presiden dan negarawan, JK sepatutnya tidak perlu terlalu melindungi perusahaan-perusahaan Bakrie yang akan atau sudah kolaps, kalau memang itu adalah akibat dari salah kelola dari pemiliknya.
Sebaliknya, tatapan mata SBY selalu menyimpan misteri, kalau memberikan arahan, maaf, melebihi Sapta Marga yang harus dihafal oleh prajurit TNI sehingga para menteri sulit menghafalnya. Arahan juga bisa berubah pada sidang kabinet berikutnya.
SBY terlalu sering mengadakan rapat untuk memutuskan sesuatu (apalagi soal menaikkan harga BBM yang menyangkut citra dirinya) dan tidak jarang mengadakan rapat melalui teleconference dari luar negeri atau rapat di hari Sabtu atau Minggu untuk menunjukkan pemerintah serius, namun justru menimbulkan kekhawatiran rakyat seolah-olah Negara Dalam Keadaan Bahaya.
SBY selalu tampil necis walau sedang mengunjungi rakyat yang terkena bencana alam, dan bagaikan sinterklas membagi-bagikan uang melalui program PNPM Mandiri yang sebagian dananya merupakan pinjaman dari Bank Dunia. Ia penuh basa basi politik, dan belakangan mengelola pemerintahan dengan cara marah-marah atau MBA, alias Management By Anger.
Maaf, saya belum tahu pasti siapa pendamping SBY pada Pilpres 2009 ini. Pembentukan koalisi masih amat cair!